iv style="padding:5px 20px; border:2px solid blue; font-size:21px; font-family:Cataneo BT;font-weight:bolder;">
Funny Comments Pictures

Minggu, 23 September 2012

MERANGKAI MIMPI MENJADI KENYATAAN

My Leave’s Parth II : Merangkai Mimpi Menjadi Kenyataan (M3K) I. MIMPI JILID I Mulai masuk ke dunia pendidikan pada tahun 1981 dan duduk di bangku SD, karena pada waktu itu TK dan sejenisnya belum terlalu dilirik oleh masyarakat, di kampungku waktu itu hanya ada satu TK yang dikembangkan oleh ibu-ibu PKK tapi yang masuk disitu sebagian besar adalah anak kalangan masyarakat yang berada(red.kaya). Sekalipun umurku pada saat itu masih 5 tahun, tapi begitu melihat anak-anak sekitarku asyik berseragam merah-putih, maka akupun mulai ikut-ikutan meskipun hanya menggunakan pakaian biasa dan buku yang aku gunakan adalah kertas kosong yang aku kumpulkan menjadi satu dengan cara menjahitnya yang kuambil dari bekas buku kakakku yang duduk di Bangku SMP. Aku ikut bergabung belajar dengan mereka, setiap hari kulakukan hal serupa, jika guru mengabsen namaku tidak disebut karena memang aku belum terdaftar. Terasa sangat polos dan banyak cerita. Masih teringat teman sebangku di kelas ini yang selalu bertanya sebelum pelajaran dimulai, “ nni, kau cita-citamu nanti mau menjadi apa”? saya menjawabnya terlalu banyak : saya mau jadi polwan, mau jadi guru, mau jadi perawat, dan mau jadi dosen. Tahun ke dua, aku pun resmi menjadi murid di SD itu, karena pelajaran di kelas satu ini aku telah ikut selama satu tahun, maka tak heran jika aku menjadi penyandang rangking satu di kelas ini. Teman-temanku banyak yang mau belajar denganku hingga aku adakan belajar keliling ke rumah-rumah mereka dan dibuatkan jadwal. Jika giliran belajar di rumahku, maka semua harus siap-siap tanggung resiko hitam lubang hidungnya akibat asap lampu pelita yang digunakan sebagai penerangan pada waktu belajar. Temanku kadang tidak menggubris hal itu, karena mereka umumnya baik hati dan tidak sombong, apalagi mau belajar dari aku. Ada banyak guru yang mengajar kami disini, semua punya cara membimbing dan mengajar yang berbeda, Ibu Kartini…ya,, nama itu sangat aku ingat dan sampai sekarang pun aku terus mencarinya. Ibu kartini ini adalah guru di kelas 2, jika ke sekolah beliau mengendarai motor sendiri (motor vesva namax warna merah), jika beliau lewat depan rumahku dengan lajunya, aku sempat melihat gayanya yang sangat anggun memainkan stir palagi klo sampai di tikungan. Melihat gaya ibu ini, muncul dalam pikiranku,” klo aku besar nanti, aku juga harus memiliki motor dan bisa mengendarai dengan laju(1), memutar stir dengan anggun dan aduhai,,,,”. Penampilannya yang ke ibuan dengan stelan rok se lutut dan atasan yang serasi membuat ibu ini semakin memesona di mata muridnya terutama bagiku. Ada lagi satu, bapak kepala sekolahku yang juga pada saat itu mengajarkan Bahasa Daerah (red.lontara’yang sekarang sudah tidak diajarkan lagi), namanya Pak Bunna (alm), beliau ini sosok pemimpin yang sangat bijaksana, dari beliau lah aku banyak mendapatkan bantuan pendidikan gratis, beasiswa murid berprestasi, beasiswa anak kurang mampu, dan banyak hadiah-hadiah lainnya yang aku dapatkan dari bapak ini. Saat aku duduk di bangku kelas lima, aku selalu mewakili sekolahku lomba cerdas cermat PMP (pendidikan moral pancasila), aku paling senang jika diikutkan lomba-lomba seperti ini, nyaris semua pasal-pasal UUD 45 kuhapal, 36 butir pancasila, Pembukaan UUD 45 serta maknanya,..dan masih banyak lagi,,semua itu aku kuasai. Lomba menyanyikan lagu-lagu pahlawan ( selendang sutera, dan himne guru) aku pun selalu juara, meskipun hanya juara III, tapi ya,,puas juga rasanya. Dari prestasi ini, bapak kepala sekolahku memberikan hadiah terbesar ke aku yaitu dibebaskan dari pembayaran SPP selama duduk di Bangku SD ini sampai tamat, dan Alhamdulillah janji – janji itu terbukti hingga aku menyelesaikan pendidikanku di SD 87 Buttakeke ini. Orang tuaku yang hanya petani biasa tentu sangat bangga melihat prestasiku apalagi mengurangi beban mereka, yang memang perekonomian keluargaku sangat di bawah standar. Dengan hanya mengandalkan hasil kebun, membiayai dan menghidupi sepuluh orang anak, bisa dibayangkan, tapi dengan ketulusan dan kesabaran, hingga semua proses kehidupan di keluargaku ini juga terlewatkan tanpa ada rasa penyesalan. (1)Mimpi jilid 1 II. MIMPI JILID II Tahun dimana aku lulus dari SD 1987, bersamaan didirikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang gedungnya menggunakan sekolahku (SD) dan kepala sekolahnya juga kepala sekolahku di SD, sekolah ini disebut SMP TERBUKA dan masuk siang, tetapi aku tetap memilih sekolah di tempat ini sekalipun di dekatnya ada SMPN yang cukup terkenal tapi bagiku tidak terlalu pengaruh, yang jelas aku masih ingin sama bapak kepala sekolahku di SD. Selama tiga tahun di SMP TERBUKA ini aku pun dibebaskan dari pembayaran SPP dan biaya lainnya karena lagi-lagi prestasi dan alasan kurang mampu ekonomi. Seiring pertumbuhan dan perkembangan emosi, aku mulai tanpak sedikit berani membangkam ke orang tua dalam hal pengadaan lampu listrik, karena pada saat itu sudah mulai ada listrik masuk desa dan sudah banyak tetanggaku yang mendaftar penyambungan kabel ke rumahnya. Masih kuingat biaya pemasangannya pada saat itu sekitar 350 ribu rupiah, besaran yang cukup berarti di lingkungan ekonomi keluargaku saat itu, namun karena aku memaksakan juga maka orang tuaku rela menjual tanah/kebun cengkeh demi memenuhi kemauanku saat itu. Senang rasanya aku beserta saudaraku yang lain karena suasana rumahku sudah terang, belajar sudah nyaman, lubang hidung sudah tidak hitam lagi, dan pelan-pelan perubahan hidup mulai terasa. Sekalipun listrik sudah tersambung ke rumahku, tapi Televisi tidak mampu dibeli, karena sisa uang hasil penjualan kebun setelah ongkos penyambungan listrik, itu digunakan untuk membeli tripleks sebagai bahan membuat kamar/sekat antara tempat tidur aku, kakak, dan orang tuaku. Aku mulai merasakan hidup yang agak berbeda karena rumahku sudah terkotak-kotak sehingga jika ada tamu yang berkunjung, pandangannya tidak lagi tertuju langsung di tempat tidur, tempat makan, tempat belajar, dan lain-lain. Di kampungku saat itu, hanya ada satu keluarga yang memiliki TV hitam putih 14 inci, yang jaraknya kurang lebih 400 m dari rumahku, jadi setiap aku mau nonton maka aku harus ke sana dan syukur-syukur kalau yang punya rumah mau buka pintu rumahnya, jika tidak maka keinginanku untuk nonton tertunda. Duduk di kelas tiga, pemikiranku sedikit dewasa. Kuberanikan diri menyampaikan keinginanku ini kepada Orang tuaku (bapakku) karena bicara dengan bapak lebih cepat diterima dibandingkan dengan mamaku saat itu. Keinginanku untuk melanjutkan sekolah ke SMA jika aku tamat dari SMP, aku mau ke kota pak(2), karena anak-anak di kota cepat-cepat berkembang dan ngetrend, apalagi di kota banyak yang bisa dilihat dan dipelajari. Apa jawabannya dari bapakku,” kenapa mau jauh-jauh ke kota sekolah, disini juga ada sekolah, kau mau tinggal sama siapa, ongkosmu lagi itu kalau di kota lebih besar jika sekolah di desa. Mendengar uraian itu, aku jadi sedih dan sangat sedih karena keinginanku untuk hidup di kota lagi-lagi tertunda. Karena karakterku sepertinya keras, maka pada saat itu aku nekad mau kabur dari rumah (pakainku sudah kumasukkan ke dalam kantong plastic warna hitam). (2)mimpi jilid 2 Waktunya ujian akhir SMP pun tiba, ada kisah disini yang perlu aku garis bawahi yaitu nilai akhirku (NEM) anjlok dan sangat mengecewakan orang tuaku dan tentunya juga aku. Tapi dari kejadian ini yang menyurutkan keinginanku untuk ke kota bersekolah SMA dan mau tidak mau tetap di desa karena NEM tidak mencukupi. SMAN Tanete, ya. Inilah sekolah yang menampung aku yang kualitasnya cukup diperhitungkan juga pada saat itu. Mulai berbaur dengan teman baru dari berbagai asal sekolah SMP, semua menceritrakan kisahnya dan harapan mereka kelak jika selesai dari sekolah ini. Di kelas satu SMA (sekarang kelas X), kita masih dikelompokkan berdasarkan NEM dari SMP sehingga aku ditempatkan di kelas satu B. Tak mau terkalahkan dengan teman yang lain, maka aku harus semakin giat belajar agar bisa mendapatkan lagi sekolah gratis alias beasiswa, tapi lain dari yang lain, disini yang berprestasi tetap harus membayar Uang SPP bulanan sebesar tiga puluh ribu rupiah. Banyak kisah –kasih yang teruntai di sini, mulai dari cinta monyet kata orang sampai ke gaf-gaf yang menjadi sumber motivasi bagi kami semua untuk berkompetisi secara sehat. Aku sangat menyukai pelajaran matematika dan fisika saat itu, jadi kelompokku diberi nama “Einstein Junior 12” yang anggotanya ada 7 orang, 5 laki-laki dan 2 perempuan satu diantaranya adalah aku. Bangga dan rasa cinta aku dengan teman tim Einstein junior, maka kami sepakat membuat baju kaos yang bertuliskan “ WE ARE THE GENERATION OF ALBERT EINSTEIN”. Hingga di dinding kelas kami banyak terpajang poster-poster yang berkaitan dengan masing-masing kelompok, guru pun merasa senang jika masuk di kelasku. Naik ke kelas dua, kami dikelompokkan berdasarkan peringkat dari kelas satu dan Alhamdulillah aku dimasukkan ke kelas dua IPA/1. Kelas ini adalah rangkuman dari yang terpintar dari tiap kelas waktu kelas satu jadi semakin besar persaingan dan tantangan. Sekali lagi harus sportif dan bersaing yang sehat. Jika kita berada di tengah-tengah orang yang kuat maka kita termotivasi untuk menjadi kuat, dan jika kita berada di tengah – tengah orang yang biasa-biasa saja, maka kita juga akan biasa-biasa saja dan tidak akan pernah ada usaha untuk semakin berkembang. Sangat terasa persaingan di sini, karena memang mereka berasal dari keluarga besar guru dan staf di Sekolah ini, yang ujung-unjungnya nilai ditentukan oleh guru itu sendiri. Aku terpukul jauh dengan prestasi, anjlok ke peringkat 23 dari 35 siswa yang dulunya di kelas satu sempat peringkat ke dua. Mulai aku down dan rasa malas belajar mulai bercokol dalam hatiku. Ada yang aneh disini, soalnya setiap kali ada tugas pe-er matematika dan fisika, yang rangking satu, dua,,itu minta nyontek ke aku,, tapi kok bisa ya ? ya itulah permainan hidup. Menjelang ulangan sumatif (ujian kenaikan kelas), semua siswa yang belum melunasi SPP bulanan dipanggil ke ruang Bendahara termasuk aku. Jika kamu tidak melunasi SPP yang bulan ini maka kamu tidak diikutkan ujian besok. Hatiku terpukul mendengar hal ini, dan tidak mungkin aku sampaikan ini ke orang tuaku karena aku tau mereka pasti tidak punya uang sebanyak ini. Lagi-lagi buah cengkeh yang jadi sasaran, kupanjat pohon cengkeh sore itu yang tumbuh di belakang rumahku sekalipun buahnya belum layak tuk dipanen, tapi apa boleh buat daripada aku tidak ikut ujian besok,, ya lebih baik ambil jalan ini. Alhamdulillah hasil panenku ada sekitar 3 Kg lebih yang dihargai saat itu 5.300/Kg nya, jadi terkumpul uangku sekitar 16 ribu, aduh masih kurang, dalam hatiku bertanya aku bisa dapat darimana lagi ya? Pagi sudah mulai, aku pun ke sekolah dengan membawa peralatan ujian dan uang SPP sebesar 16 ribu tadi. Bel tanda masuk sudah berbunyi, semua siswa sudah memasuki ruangan yang telah diatur panitia. Aku pun juga masuk dan duduk pada posisi yang telah ditentukan. Di tengah asyiknya aku mengerjakan soal bahasa Indonesia saat itu, bendahara sekolah muncul dan menyebut namaku kalau harus menghadap ke kepala sekolah sekarang juga. Ini pasti ada hubungannya dengan pembayaran SPP ku yang belum lunas, pikirku dalam hati. Ada satu orang temanku yang mengikuti saya ke ruang kepala sekolah saat itu, silahkan duduk,, kata kepala sekolahku… . Aku duduk berdempetan dengan temanku tadi, sambil berhati-hati dan deg-deg-an menunggu apa yang mau disampaikan kepala sekolahku ke aku. Pelan kepala sekolahku menyampaikan kalau aku dibebaskan dari beban pembayaran SPP karena bapakku anggota Veteran RI, tersentak aku mendengarnya seakan-akan tidak percaya. Temanku kaget tapi gembira mendengar perkataan kepala sekolah ini, betul ki ini pak? Tanyaku ke kepala sekolah. Iya nak, ini hadiah khusus anak pejuang RI (veteran). Bahkan selain dibebaskan dari SPP, aku juga diberi uang saku setiap bulannya 70ribu rupiah, subhanallah. Hadiah kali ini betul-betul menyadarkan aku kalau nantinya aku berhasil dan menjadi orang yang besar, maka aku akan menjadi Pahlawan yang mau berjuang melawan kebodohan dan memberantas kemiskinan (3). Menjadi motivator kuat bagiku dengan mendapatkan beasiswa Veteran, diberi tunjangan bulanan lagi dari veteran, maka aku semakin gigih berjuang dan terus berjuang untuk bisa meraih prestasiku yang sempat anjlok. Kekuatan itu mengalir terus dalam tubuhku ibarat cash, aku sudah di cash dengan energy dan darah para pejuang terdahulu yang dengan semangat yang berapi-api dan bekerja keras memperjuangkan NKRI sekalipun nyawa taruhannya. Yess, aku harus maju!!!. Kejadian ini aku sampaikan kepada bapakku dengan perasaan dan semangat 45, namun sekali lagi tanggapan dari bapakku lagi-lagi sangat sederhana,,hehehe,,,saya dulu mau sekolah tinggi seperti kamu, tapi kita ditangkap dan malah dibunuh jika dilihat sama tentara belanda, makanya saya sekolahnya hanya sampai SR kala itu (setara SD) SR sekolah rakyat, itupun sudah cukup, makanya sekarang kamu semua harus sekolah biar habis tanah di jual yang penting kamu mau sekolah tinggi-tinggi. Betapa sedih hatiku saat kudengar uraian bapakku ini, sambil berbicara panjang lebar, aku mulai mengeluarkan air mata membayangkan betapa susahnya hidup di zaman bapakku dulu. Bulan yang sama, gaji veteran bapakku pun mulai diterima, artinya menambah pemasukan dan mengurangi beban keluarga. Tapi aku heran juga, mengapa saudaraku yang lainnya tidak mengalami hal serupa denganku, padahal aku sama-sama anak veteran? Yah,,,lagi-lagi garis kehidupan. Tahun 1993, aku tamat di SMA ini, dan Alhamdulillah dengan nilai yang cukup memuaskan peringkat tiga dari 35 siswa di kelas IPA/1. Tapi nilai ini tidak membantu untuk memasuki ke jenjang perguruan tinggi. (3)mimpi jilid 3 III. MIMPI YANG BERULANG Keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke kota besar (ujungpandang, sekarang makasar) kali ini sudah di depan mata. Aku diizinkan oleh Orang tuaku untuk masuk dan mendaftar di UNHAS. Aku memilih jurusan IPC (IPA/IPS) dengan memilih jurusan arsitektur, kesehatan, dan pilihan ke tiga farmasi. Keinginan dan harapan lagi-lagi tidak selaras dengan kenyataan yang kuhadapi. Setelah pengumuman hasil tes SIPENMARU diumumkan hasilnya, tidak kudapatkan namaku tertulis dikoran yang sengaja ku beli waktu pagi. Kuulangi berkali-kali jika sempat ada tercecer namaku di tempat lain..tapi tetap tidak kutemukan. Aku sudah bertekad kalau tahun ini aku mau melanjutkan pendidikan di kota besar. Aku mendaftarkan diri di Lembaga kursus bahasa Inggris dengan biaya yang cukup besar juga. Alhamdulillah, aku diterima dan selama satu tahun modal bahasa inggrisku cukup membantu untuk mendaftar yang ke dua kalinya di UNHAS. Kesempatan kedua ini, aku memilih jurusan IPA saja yaitu Matematika dan fisika, atas permintaan kakakku, kak Riah, kau ambil saja fisika pilihan ke dua karena biasanya yang banyak lulus itu di pilihan keduanya. Tanpa pertimbangan aku langsung mengisi formulir yang sudah kubayar sebesar 175ribu rupiah. Iya, bukan kah waktu SMA dulu aku paling senang dengan pelajaran yang dua ini? Yess, aku harus lulus. Sebulan setelah tes, tibalah saatnya aku beli Koran FAJAR yang memuat nama-nama yang dinyatakan lulus. Kubuka halaman yang memuat nama: tidak ada namaku di jurusan matematika, yah,,,kucari ke fisika dan ternyata di situlah namaku tertulis: Murniati M (no.ujian aku lupa)…namaku ada…namaku ada…alhamdulillah ya Allah namaku ada…. Maka pada tahun 1994 inilah aku resmi menjadi mahasiswa UNHAS fakultas MIPA jurusan Fisika. bersambung ke episode berikutnya: semuanya berawal dari mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya